Spirit NTT 7-13 Januari
2008
WARNA dan motif tenun
berbeda antardaerah yang menjadi basis tenun di Alor. Ada lima daerah basis
tenun dan masing-masing memiliki ciri khas, baik dari segi motif maupun warna.
Kelima basis tenun itu merupakan daerah kerajaan yang pernah ada di Alor. Di masa
pendudukan Belanda, Alor terdiri atas lima kerajaan yaitu Kui, Batulolong,
Kolana, Baranusa dan Alor.
Daerah Kolana, Kui dan Batulolong terkenal dengan tenun songket, sedangkan daerah tenun ikat terkenal adalah Ternate, Pulau Buaya, Baranusa, Koli Jahi dan Alor Kecil, yang masing-masing memiliki warna dan motif tersendiri. Ikan, penyu, naga dan bahkan gajah adalah motif yang ditemukan di antara tenun ikat Alor. Motif gajah diambil dari sutera India, dan patola yang dulu banyak ditemukan di Pantar. Saat ini, Patola jarang ditemukan tetapi bisa ditemukan di museum Kalabahi.
Dari segi pembentukan motif/pembuatan ragam hias hasil tenun terdiri atas tiga jenis, yaitu tenun ikat, tenun songket dan tenun buna. Pada tenun ikat, pembuatan ragam hias dengan cara mengikat benang lungsi kemudian diproses dengan pewarnaan tradisional. Tenun songket, pembuatan ragam hias dengan cara menambah benang pakan. Sementara pada tenun buna, ragam bias dibentuk dari proses penggandaan benang lungsi.
Awalnya kain tenun yang dihasilkan berupa sarung, selimut dan selendang yang pemanfaatannya masih terbatas sebagai alat pelindung badan, prestise/status sosial, upacara adat, mas kawin serta dianggap sebagai mitos karena menurut kepercayaan, corak/desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, atau roh jahat.
Dalam hal tertentu, tenun ikat juga dipakai sebagai denda. Misalnya, untuk menyelesaikan pelecehan atau suatu tindakan yang tidak terpuji, kadang suatu keluarga dapat menuntut dibayarkan dengan tenun ikat sebagai pelengkap alat kompensasi.
Desain atau motif pada mulanya juga bersifat monoton, yang diwariskan secara turun-temurun. Motif tersebut berupa fauna (zoomorphic), figur manusia (antropomorph), stilisasi tumbuhan (flora), geometris serta replika ragam hias kain patola India.
Tetapi, seiring dengan kebutuhan konsumen saat ini, maka ukuran, motif, warna dan jenis kain tenun yang dihasilkan tidak hanya terbatas pada sarung, selimut, dan selendang saja. Kini, kain tenun itu bisa dipergunakan untuk bahan pakaian safari/jas, rompi, gaun terusan perempuan, kain gorden, bed cover, taplak meja, kotak surat, hiasan dinding, tas, dan dompet.
Di antara penenun, masih ada yang menenun secara tradisional. Pengerjaan tenun mulai dari pembersihan kapas (biji kapas dibuang) yang disebut baneha, kemudian pembersihan kapas dengan menggunakan alat menyerupai panah yang disebut buhung, dan dilanjutkan proses menggulung kapas menjadi benang. Benang yang terbentuk digulung jadi bola-bola.
Pada proses tenun songket, benang dicelup ke pewarna alami (kutulak) dengan cara dimasak di periuk tanah, kemudian benang yang sudah berwarna itu diikat untuk menjadi motif tenun songket dan kemudian ditenun.
Pencelupan warna sampai tiga kali dengan bahan warna bisa dari pohon kosambi, daun turi. Berbeda dengan tenun songket, pada tenun ikat, motif diikat baru ditenun.
Pemintalan dan pencelupan kapas dengan daun, akar dan kulit kayu memakan waktu dan tenaga. Cara tersebut sangat memakan waktu, sehingga pemakaian mesin pintal dan pencelupan sintetis muncul. Yang pasti perbedaan bahan itu, pastinya membuat perbedaan antara tenun alami dan sintetis.
Tenun ikat atau songket yang menggunakan bahan kapas dan pewarna alami memiliki warna tidak seterang warna tenun ikat dan songket yang terbuat dari bahan sintetis. Selain memakan waktu dan tenaga, tenun alami juga mengalami kendala dalam hal pengadaan kapas, sehingga sekalipun ada permintaan ekspor belum bisa dipenuhi para penenun. (nancy nainggolan)
Daerah Kolana, Kui dan Batulolong terkenal dengan tenun songket, sedangkan daerah tenun ikat terkenal adalah Ternate, Pulau Buaya, Baranusa, Koli Jahi dan Alor Kecil, yang masing-masing memiliki warna dan motif tersendiri. Ikan, penyu, naga dan bahkan gajah adalah motif yang ditemukan di antara tenun ikat Alor. Motif gajah diambil dari sutera India, dan patola yang dulu banyak ditemukan di Pantar. Saat ini, Patola jarang ditemukan tetapi bisa ditemukan di museum Kalabahi.
Dari segi pembentukan motif/pembuatan ragam hias hasil tenun terdiri atas tiga jenis, yaitu tenun ikat, tenun songket dan tenun buna. Pada tenun ikat, pembuatan ragam hias dengan cara mengikat benang lungsi kemudian diproses dengan pewarnaan tradisional. Tenun songket, pembuatan ragam hias dengan cara menambah benang pakan. Sementara pada tenun buna, ragam bias dibentuk dari proses penggandaan benang lungsi.
Awalnya kain tenun yang dihasilkan berupa sarung, selimut dan selendang yang pemanfaatannya masih terbatas sebagai alat pelindung badan, prestise/status sosial, upacara adat, mas kawin serta dianggap sebagai mitos karena menurut kepercayaan, corak/desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, atau roh jahat.
Dalam hal tertentu, tenun ikat juga dipakai sebagai denda. Misalnya, untuk menyelesaikan pelecehan atau suatu tindakan yang tidak terpuji, kadang suatu keluarga dapat menuntut dibayarkan dengan tenun ikat sebagai pelengkap alat kompensasi.
Desain atau motif pada mulanya juga bersifat monoton, yang diwariskan secara turun-temurun. Motif tersebut berupa fauna (zoomorphic), figur manusia (antropomorph), stilisasi tumbuhan (flora), geometris serta replika ragam hias kain patola India.
Tetapi, seiring dengan kebutuhan konsumen saat ini, maka ukuran, motif, warna dan jenis kain tenun yang dihasilkan tidak hanya terbatas pada sarung, selimut, dan selendang saja. Kini, kain tenun itu bisa dipergunakan untuk bahan pakaian safari/jas, rompi, gaun terusan perempuan, kain gorden, bed cover, taplak meja, kotak surat, hiasan dinding, tas, dan dompet.
Di antara penenun, masih ada yang menenun secara tradisional. Pengerjaan tenun mulai dari pembersihan kapas (biji kapas dibuang) yang disebut baneha, kemudian pembersihan kapas dengan menggunakan alat menyerupai panah yang disebut buhung, dan dilanjutkan proses menggulung kapas menjadi benang. Benang yang terbentuk digulung jadi bola-bola.
Pada proses tenun songket, benang dicelup ke pewarna alami (kutulak) dengan cara dimasak di periuk tanah, kemudian benang yang sudah berwarna itu diikat untuk menjadi motif tenun songket dan kemudian ditenun.
Pencelupan warna sampai tiga kali dengan bahan warna bisa dari pohon kosambi, daun turi. Berbeda dengan tenun songket, pada tenun ikat, motif diikat baru ditenun.
Pemintalan dan pencelupan kapas dengan daun, akar dan kulit kayu memakan waktu dan tenaga. Cara tersebut sangat memakan waktu, sehingga pemakaian mesin pintal dan pencelupan sintetis muncul. Yang pasti perbedaan bahan itu, pastinya membuat perbedaan antara tenun alami dan sintetis.
Tenun ikat atau songket yang menggunakan bahan kapas dan pewarna alami memiliki warna tidak seterang warna tenun ikat dan songket yang terbuat dari bahan sintetis. Selain memakan waktu dan tenaga, tenun alami juga mengalami kendala dalam hal pengadaan kapas, sehingga sekalipun ada permintaan ekspor belum bisa dipenuhi para penenun. (nancy nainggolan)